Sabtu, 20 November 2010

MAKNA PAKAIAN PENGHULU DAN BUNDO KANDUANG PADA PERTUNJUKAN DETA DATUAK KARYA ALFIYANTO,S.Sn DALAM RANGKA UJIAN AKHIR S2


A. Fungsi dan Simbol Warna Dalam Busana Tari
Adapun yang dimaksud dengan busana atau pakaian tari ialah semua yang dipakai penari terdiri dari pakaian, perhiasan, dan perlengkapannya. Busana atau pakaian di dalam tari memiliki beragam fungsi, sebagai berikut:

1. Fungsi psikis : busana adalah lingkungan penari yang paling dekat dan akrab.
2. Fungsi artistik : busana adalah aspek seni rupa dalam penampilan tari yang menggambarkan identitas tarian/pemeran melalui, garis, bentuk, corak, dan warna busana. Dengan demikian maka pemeran seorang tokoh harus dikenal dari corak-coraknya.
3. Fungsi estetik : busana merupakan unsur keindahan tarian/peran yang menyatu dengan tubuh penari. Busana disini berfungsi membantu mengungkapkan karakter peran.

Di dalam seni tari tradisi, terntu akan dibalut oleh unsur-unsur seni rupa yang bersifat tradisi pula dan memiliki nilai serta makna yang telah membaku. Selain fungsi di atas, pada busana atau pakaian tari tradisional terdapat warna-warna simbolis umpamanya:

1. Warna merah sifatnya menarik sebagai simbol keberanian, agresif, aktif, raja sombong, ksatria putri, dan memiliki sifat teatrikal.
2. Warna biru sifatnya tenteram sebagai simbol kesetiaan, cocok untuk ksatria dan putri yang setia penuh dengan pengabdian.
3. Warna hitam adalah bijaksana, cocok untuk peran raja, ksatria, putri, pendeta bijaksana.
4. Warna kuning berkesan gembira dan agung.
5. Warna putih memiliki kesan muda dan suci(15). (Risyani, Pengantar Pengetahuan Tari. Departemen Pendidikan Nasional STSI Bandung,2005,h.33-34).

B. Pakaian Penghulu
Pada dasarnya pakaian Penghulu yang digunakan pada saat pertunjukan Deta Datuak tidak jauh berbeda dengan pakaian Penghulu yang dipakai di berbagai daerah di Sumatera Barat. Pada pertunjukan Deta Datuak tersebut, pakaian Penghulu terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Pakaian pertama Penghulu yang terdiri dari:
• Baju takwa berwarna putih
• Celana lapang (besar)
• Sisamping (samping)
• Cawek (ikat pinggang)
• Tongkat
2. Pakaian kedua Penghulu yang terdiri dari:
• Saluak
• Baju lapang (besar)
• Baju takwa
• Celana lapang (besar)
• Sisamping (samping)
• Cawek (ikat pinggang)
• Tongkat
3. Pakaian sekumpulan Penghulu yang terdiri dari:
• Saluak
• Baju lapang (besar)
• Celana lapang (besar)
• Sisamping (samping)
• Cawek (ikat pinggang)
• Sandang (salempang)
• Selop
• Tongkat

C. Makna Pakaian Penghulu
Sebagaimana kita ketahui dan kita lihat, pakaian Penghulu di Minangkabau sangat berlainan dengan pakaian-pakaian pemuka-pemuka adat di daerah lain. Pakaian Penghulu yang disebut diatas sebenarnya tidaklah dibuat demikian saja, tetapi cukup mempunyai hikmah dan falsafah yang mengandung ajaran-ajaran bagi si pemakainya (Penghulu). Dan pada pakaian itu sebenarnya terkandung banyak sekali rahasia yang menyangkut sifat-sifat dan martabat serta larangan seorang Penghulu begitupun tugasnya dan kepemimpinannya (ilmu yang bersangkutan dengan leadership)(16. H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau.PT. Remadja Rosdakarya Bandung, 2001, h.104-105)

1.Saluak
• Melambangkan sistem pemerintahan demokrasi dalam masyarakat Minangkabau.
• Melambangkan penyimpanan segala buruk baik, segala rahasia yang merupakan persoalan dalam masyarakatnya.
• Warna merah melambangkan keberanian.
• Warna hitam yang melambangkan dapat bekerjasama dalam bidang apa saja untuk kebaikan kaumnya atau masyarakat pada umumnya.
• Melambangkan bahwa Penghulu mempunyai derajat yang tertinggi dalam masyarakatnya.
• Melambangkan bahwa dalam mencari mufakat akan diperoleh suatu keputusan yang datar dan adil bagi segala pihak.
• Melambangkan bahwa orang yang memakainya adalah orang yang tahu dengan seluk beluk adat Minangkabau.
• Melambangkan kedalaman ilmu orang yang memakainya.

2. Baju lapang (besar)
• Melambangkan bahwa pemakainya adalah orang besar, beralam luas, berdada lapang dan bersifat sabar.
• Melambangkan keterbukaan pemimpin dan kelapangan dadanya.
• Selalu ingat dan menjaga kelestarian adat.
• Berilmu, berwibawa, bermagrifat, yakni tawakal kepada Allah.
• Kaya dan miskin terletak pada hati dan kebenaran.
• Hemat dan cermat.
• Sabar dan ridho.
• Melambangkan bahwa Penghulu tidak mempunyai sifat pembohong atau tidak pendusta, tidak mempunyai sifat mengambil kesempatan dalam kesempitan.
• Melambangkan bahwa Penghulu tidak berbuat merugikan orang lain atau kawan sendiri.
• Melambangkan bahwa orang Minangkabau hidup dengan penuh perasaan.
• Warna hitam melambangkan bahwa sepatah kata Penghulu tidak dapat dirubah lagi, karenanya semuanya yang dikatakan Penghulu itu merupakan hasil musyawarah bersama.
3. Celana lapang (besar)
• Melambangkan langkah yang selesai untuk menjaga segala kemungkinan musuh yang datang tiba-tiba. Walaupun lapang tetapi langkahnya mempunyai batas-batas tertentu dan mempunyai tata tertib tertentu pula.
• Melambangkan agar bersifat jujur, benar dan tulus-ikhlas.
• Melambangkan jangan berlindung pada orang lain semaunya, jangan suka enak sendiri dalam masyarakat.

4.Sisamping (samping)
• Melambangkan orang yang memakainya akan selalu hormat-menghormati.
• Warna merah melambangkan keberanian dan bertanggung jawab.
• Melambangkan si pemakai mempunyai pengetahuan yang cukup dalam bidangnya.
• Melambangkan agar pemakai dalam berjalan harus memelihara kaki, dan dalam berkata pelihara lidah. Dengan kata lain ”samping” tersebut dapat dikatakan melambangkan ”kehati-hatian” pemakai dalam segala tindak-tanduknya dalam masyarakat.

5.Cawek (ikat pinggang)
• Melambangkan setiap sesuatu itu harus dengan rundingan menyelesaikannya. Penghulu tidak boleh menjadi hakim sendiri.
• Melambangkan keteguhan orang Minangkabau pada perjanjian.

6.Sandang (salempang)
• Melambangkan tanggung jawab seorang Penghulu terhadap kesejahteraan anak kemenakannya.
• Melambangkan tanda kebesaran seorang Penghulu.
• Melambangkan bahwa Penghulu itu adalah orang yang jujur dan selalu menepati janji yang telah dibuat bersama.
• Melambangkan penghapus keringat yang terdapat pada kening.

7.Tongkat
• Melambangkan kebesaran pemakaianya, atau orang yang harus didahulukan dan dituakan sepanjang adat.
• Melambangkan kemampuan dan kemakmuran negeri.
• Melambangkan komando terhadap anak kemenakan.
• Melambangkan bahwa tiap-tiap keputusan yang telah dibuat, tiap peraturan yang telah ditetapkan harus dipertahankan dan ditegakkan dengan penuh wibawa.
• Melambangkan bahwa semua masalah tidak dikuasai sendiri dan tidak diselesaikan atau dihakimi sendiri.
• Melambangkan sebagai pertahanan diri terhadap serangan musuh.
• Melambangkan bahwa Penghulu mempunyai pembantu dalam menjalankan tugasnya(17. Drs.Anwar Ibrahim,dkk, Pakaian Adat Tradisional Daerah Sumatera Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986,h.29-98).

8. Baju takwa putih
• Melambangkan kesucian hati seorang Penghulu.
• Melambangkan kejernihan pikiran seorang Penghulu dalam pengambilan keputusan.
• Melambangkan bahwa Penghulu adalah seorang yang bertakwa kepada Tuhan.

9. Selop
Disini selop hanya berfungsi sebagai pelindung / pengaman kaki agar tidak terkena benda tajam, disamping itu juga perlindungan terhadap diri seorang Penghulu.

D. Pakaian Bundo Kanduang
Pada dasarnya pakaian Bundo Kanduang yang digunakan pada saat pertunjukan Deta Datuak tidak jauh berbeda dengan pakaian Bundo Kanduang yang dipakai di berbagai daerah di Sumatera Barat. Pada pertunjukan Deta Datuak tersebut, pakaian Bundo Kanduang terdiri dari:

1. Tengkuluk tanduk
2. Baju bertanti
3. Sarung (lambak)
4. Kalung
5. Gelang
6. Selop

Pakaian Bundo Kanduang
E. Makna Pakaian Bundo Kanduang
Pakaian Bundo Kanduang yang disebut diatas sebenarnya tidaklah dibuat demikian saja, tetapi cukup mempunyai hikmah dan falsafah yang mengandung ajaran-ajaran bagi si pemakainya (Bundo Kanduang)(Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau.PT. Remadja Rosdakarya Bandung, 2001, h.104-105).
1. Tengkuluk tanduk
• Melambangkan rumah adat Minangkabau.
• Melambangkan akal budi Bundo Kanduang menyebar untuk masyarakat banyak.
• Melambangkan bahwa dalam memutuskan sesuatu haruslah dengan musyawarah mufakat dan hasilnya harus adil.
• Melambangkan tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan kepada Bundo Kanduang harus dijunjung tinggi.

2. Baju bertanti
• Melambangkan kekayaan alam Minangkabau dengan emas.
• Melambangkan masyarakat yang bermacam ragam berada dalam satu wadah yaitu adat Minangkabau.
• Melambangkan ketaatan Bundo Kanduang dalam menjalankan agama Islam.
• Melambangkan demokrasi yang luas di Minangkabau tetapi berada pada batas-batas tertentu.
• Warna merah melambangkan keberanian dalam menyatakan kebenaran.
• Warna hitam melambangkan tahan gempa dan dapat pergi kemana saja dalam melaksanakan tugasnya.

3.Sarung (lambak)
• Melambangkan bahwa dia seorang ”putri” yang memiliki tertib sopan dan mempunyai rasa jormat menghormati.
• Warna merah atau minimal kemerah-merahan sebagai lambang keberanian dan bertanggung jawab.
• Melambangkan bahwa segala sesuatu harus diletakkan pada tempatnya.

4.Kalung
• Melambangkan bahwa semua rahasia dikumpulkan oleh Bundo Kanduang.
• Melambangkan bahwa kebenaran akan tetap berdiri teguh.
• Melambangkan bahwa Bundo Kanduang menyimpan harta pusaka.

5.Gelang
• Melambangkan keindahan dan memamerkan kemampuan/kekayaan sipemakai.
• Pemakaian gelang melambangkan batas-batas yang dapat dilakukan oleh seorang dalam kehidupan ini.
• Melambangkan bahwa dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan.
• Melambangkan kedisiplinan adat Minangkabau(19).

6. Selop
Disini selop hanya berfungsi sebagai pelindung / pengaman kaki agar tidak terkena benda tajam, disamping itu juga perlindungan terhadap diri seorang Bundo Kanduang.


Pakaian adat tradisional Penghulu dan Bundo Kanduang mempunyai bermacam-macam variasi pada beberapa daerah tertentu di Minangkabau, ini dapat terlihat dalam pertunjukan Ujian Akhir S2 karya Alfiyanto,S.Sn yang berjudul Deta Datuak. Namun demikian pada hakekatnya merupakan kesatuan dan bervariasi hanya pada bagian-bagian tertentu saja.


REFERENSI
Daftar Pustaka
1. Ampera Salim dan Zulkifli,2005.Minangkabau Dalam Catatan Sejarah Yang Tercecer, Citra Budaya Indonesia Padang.
2. Drs. Anwar Ibrahim,dkk,1985.Pakaian Adat Tradisional Daerah Sumatera Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
3. Dt. B. Nurdin Yakub,1987.Minangkabau Tanah Pusaka-Sejarah Minangkabau, Pustaka Indonesia Bukittinggi.
4. H. Ch. N. Latief, SH, MSi Dt. Bandaro,2002.Etnis dan Adat Minangkabau-Permasalahan dan Masa Depannya, Angkasa Bandung.
5. H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu,1984.Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, CV. Remadja Karya Bandung.2001.Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, PT. Remaja Rosdakarya Bandung.
6. Lindawati,2006.Alam Dalam Persepsi Masyarakat Minangkabau, Andalas University Press Padang.
7. Prof. DR. Drs. H. Agustiar Syah Nur, M.A,2002.Kredibilitas Penghulu Dalam Kepemimpinan Adat Minangkabau, Lubuk Agung Padang.
8. Risyani,2005.Pengantar Pengetahuan Tari, Departemen Pendidikan Nasional STSI Bandung.

Jumat, 19 November 2010

sekilas tentang dramatari wayang wong priangan

TUJUAN UMUM

A. Ciri-Ciri Khas Dramatari
            Ciri-ciri khusus yang paling urgent atau yang paling essensial terwujudnya pertunjukan dramatari adalah adanya tiga aspek yang saling berkaitan erat, yaitu aspek medium ungkap, lakon, dan pelaku.
1. Medium Ungkap
Dramatari sebagai suatu jenis kesenian/seni pertunjukan yang memiliki medium ungkapnya yang jelas dan menentu. Dengan kata lain, karena ada medium ungkapnyalah dramatari dapat dilihat dan didengar, atau dinikmati, atau diapresiasi oleh para penonton.
Medium ungkap pertunjukan dramatari, terbagi menjadi dua bagian yaitu, medium ungkap pokok, dan medium ungkap pelengkap.
-  Medium Ungkap Pokok
Medium ungkap pokok berarti medium ungkap yang utama atau yang paling menentukan terwujudnya penyajian dari pertunjukan dramatari tersebut. Dramatari adalah pertunjukan yang membawakan cerita atau lakon yang diungkapkan dengan tari dan ada pula dengan tari dan dialog. Artinya, lakon yang dibawakan oleh para pelakunya, ada yang diungkapkan dengan tari saja, dan ada pula dengan tari dan dialog. Dengan demikian, yang dimaksud dengan medium ungkap pokok disini berkaitan dengan medium ungkap yang disajikan oleh para pelaku di atas pentas. Oleh karena itu, bahwa  medium ungkap pokok pertunjukan dramatari adalah tari, dan tari dengan dialog.
Peranan tari yang diungkapkan dalam pertunjukan dramatari tanpa dialog atau sendratari ini, pada dasarnya terdiri dari tiga bagian, yaitu tari untuk mengungkapkan ciri  peran; tari untuk mengungkapkan peristiwa atau suasana-suasana; dan tari untuk perasaan-perasaan. Setiap pelaku di atas pentas dalam membawakan sebuah lakon, di antaranya akan memiliki tarian yang berkaitan dengan ciri perannya, apakah ciri jenis kelaminnya (pria-wanita), jenis karakternya (lungguh/liyep), lincah/ladak, gagah monggawa, dan gagah lincah/ngalana, dan jenis atau tingkatan jabatannya (bawahan, dan atasan), serta jenis usianya (manusia tingkat anak-anak, remaja, dewasa, dan manula). Berkaitan dengan lakon yang dibawakan, maka akan menjumpai anekaragam peristiwa atau suasana, oleh karena itu, akan dijumpai pula tarian yang berkaitan dengan ungkapan peristiwa atau suasana, seperti: tenang/damai, gundah/gejolak, kegirangan, kebakaran, peperangan, unjuk-rasa, dan lain-lain. Sesuai dengan lakon dan peristiwanya, maka akan terungkap pula keadaan jiwa pelakunya yang menumbuhkan berbagai emosi atau perasaan. Oleh sebab itu, para pelaku dalam pertunjukan dramatari tidak lepas dari tarian yang mengungkapkan perasaan-perasaan, seperti: sedih, gembira, marah, dan lain-lain.
Pertunjukan dramatari berdialog, berarti medium ungkap pokoknya tari dengan dialog. Dalam hal ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu, ungkapan tari secara mandiri (seperti yang telah diuraikan di atas/tari dalam pertunjukan dramatari tanpa dialog atau sendratari); tari yang berkaitan dengan dialog; dan ungkapan dialognya itu sendiri.
Ungkapan tari yang berkaitan dengan dialog, yaitu gerakan-gerakan tari yang berfungsi untuk mempertegas atau memperkuat isi dari dialog yang diucapkan. Macam-macam dialog atau antawacana dalam pertunjukan dramatari berdialog ini, terdapat 2 macam, yaitu percakapan atau merupakan tanya jawab; dan berbicara sendiri atau monolog.
-  Medium Ungkap Pelengkap
Setiap pertunjukan dramatari, pada prinsipnya tidak akan lepas dari unsur seni lain yang melengkapi untuk mendukung kekuatan medium ungkap pokoknya. Unsur seni yang lain yang melengkapinya yaitu: karawitan/musik (pemberi irama tari dan nada dialog, pendukung dinamika tari, dan pendukung ungkapan suasana); tata rias, busana, dan properti tari (visualisasi ciri setiap peran dari wajah dan seluruh tubuhnya, serta memberi fasilitas dalam menari); tata pentas (memberi fasilitas yang berkaitan dengan tempat pertunjukan, tata cahaya, dan tata suara); serta ada pula yang dilengkapi dengan prolog atau narasi dalang (mengungkapkan dengan kata-kata tentang peristiwa yang hendak ditampilkan, suasana-suasana tertentu, dan ungkapan perasaan dari peran tertentu, serta kata-kata yang diungkapkan ada yang berbentuk nyanyian dan non-nyanyian).
Lakon atau kisah, adalah rangkaian peristiwa atau suasana kejadian yang bersumber dari suatu cerita. Selain itu juga lakon yang terdiri susunan peristiwa merupakan satu-satunya pijakan terwujudnya perbendaharaan tarian dan dialog yang hendak diungkapkan.
Unsur-unsur yang terkandung dalam lakon dramatari meliputi : sumber lakon, tema lakon, unsur filosofis, penyajian lakon, struktur dramatik lakon, plot atau bagian peristiwa, susunan adegan atau pengadegan atau babakan, judul lakon, dan sinopsis.
Ada dua bagian aktivitas seniman, yang pertama, seniman pelaku diatas pentas, dan yang kedua seniman pelaku di belakang pentas.
  • Pelaku Diatas Pentas
Pelaku diatas pentas atau pelaku pokok pertunjukan dramatari adalah para pelaku yang secara langsung berkomunikasi atau menjadi obyek perhatian utama para penonton. Secara singkatnya terdapat klasifikasi pemeran/penari dramatari menjadi 3 kelompok sebagai berikut :
-          Peran Utama
Spesifikasi ciri pokok lakon dramatari adalah adanya konflik atau pertentangan. Dari satu pihak ada peran utama yang menegakan atau memperjuangkan ide (kebenaran atau kebaikan) yang umumnya disebut peran protagonis, dan dilain pihak peran utama yang menentang ide (keburukan atau kejahatan) yang disebut peran antagonis.
-          Peran Pembantu
Dari setiap lakon dramatari biasanya akan muncul individu-individu peran (peran perorangan) yang membantu atau mendukung kekuatan dari kedua peran utama, dan peran ini disebut tritagonis. Tritagonis yang membantu kekuatan peran utama protagonis, dan membantu kekuatan peran utama antagonis.
-          Peran Pelengkap
Yang artinya, peran pelengkap atau penari kelompok yang melengkapi kekuatan protagonis, dan melengkapi peran antagonis.
  • Pelaku Dibelakang Pentas
Yang artinya para pelaku atau para pemain yang tugasnya mendukung menghidupkan yang diungkapkan oleh para pelaku diatas pentas (penari) sesuai dengan unsur seni sebagai medium ungkap pelengkap dramatari. Yaitu, karawitan/musik, tata rias dan busana, tata pentas, dan narasi/prolog (jika ada). Keberadaan para pelaku dibelakang pentas terdiri dari : pangrawit, perias busana, penata pentas dan stage crew, serta narator/dalang.

B. Ciri-Ciri Khas Wayang Wong Cirebon dan Wayang Wong Priangan
Ciri-ciri Wayang Wong Cirebon adalah Wayang Wong Cirebon lebih sering membawakan lakon dari cerita Mahabarata, dan para pelakunya memakai topeng serta dialognya diucapkan oleh dalang, kecuali para panakawannya seperti Semar dan Gareng. Oleh karena itu kesenian ini sering disebut dengan Wayang Topeng. Para panakawannya berbicara sendiri, sebab topeng yang dipakai tidak menutupi seluruh wajah atau bagian mulutnya tidak tertutup topeng. Pada umumnya hiasan kepalanya disebut irah-irahan meniru dari wayang kulit, termasuk bahasa yang digunakan untuk dialog para pelakunya. Adapun tariannya pada Wayang Wong Cirebon ini bersumber dari tari Topeng Cirebon. Sedangkan ciri-ciri Wayang Wong Priangan adalah lakon yang dibawakan lebih sering menceritakan cerita galur Mahabarata termasuk Bharatayudha, Arjuna Sasrabahu, dan beberapa sempalan cerita yang terkenal seperti lakon Jabang Tutuka, Brajamusti, dan Srikandi-Mustakaweni. Para pelaku atau penarinya tidak memakai topeng dan dialognya langsung diucapkan oleh para pelakunya. Sedangkan dalangnya hanya berperan mengungkapkan narasi saja. Adapun tata busana dan riasnya bertolak dari Wayang Golek termasuk dialog dan narasinya. Mengenai tarian, pada dasarnya merupakan perpaduan dari beberapa sumber yaitu dari Wayang Wong Cirebon, tari Tayuban, Pencak Silat, dan tari-tarian Wayang Goleknya.

TINJAUAN KHUSUS
A. Klasifikasi Pelaku
Para pelaku yang ada pada cerita Lakon Patih Suwanda terdiri dari beberapa tokoh yang memerankan peran:
  1. Protagonis adalah Arjuna Sasrabahu
  2. Antagonis adalah Somantri
  3. Tritagonis dalam protagonis adalah Dewi Citrawati, Sukasrana, Prabu Citra Darma, Raden Citragada, Resi Suwandageni, dan tritagonis dalam peran antagonis adalah Prabu Darmawisesa
  4. Peran pelengkapnya adalah Semar, Cepot, Dewala, dan Gareng.
B. Macam-macam Tarian dalam Lakon Srikandi-Mustakaweni
Tarian yang ada pada lakon Srikandi x Mustakaweni adalah :
  1. Tari Srikandi x Mustakaweni
Tarian ini dalam lakon Srikandi x Mustakaweni terdapat dalam adegan keempat, yaitu setelah Gatotkaca palsu tertusuk panah sakti Srikandi, maka setelah itu pula berubah ke wujud semula menjadi Mustakaweni.
  1. Tari Gatotkaca
Tarian ini dalam lakon Srikandi x Mustakaweni terdapat dalam adegan keempat, yaitu setelah Gatotkaca palsu berhasil mengambil Pusaka Layang Jamus Kalimusada dari Dewi Drupadi. Gatotkaca palsu yang sangat senang dan gembira karena telah mengambil pusaka tersebut serta berhasil mengemban tugas rajanya, kegembiraan ini divisualisasikan ke dalam bentuk gerak yaitu Tari Gatotkaca.
  1. Tari Prajurit Wanita
Tarian ini dalam lakon Srikandi x Mustakaweni terdapat dalam adegan kedua dan adegan keempat. pada adegan kedua, tarian ini masuk ketika awal adegan kedua, dimana ketika Srikandi diceritakan sedang melatih perang para prajurit. Pada adegan keempat, tarian ini masuk ketika peperangan Srikandi x Mustakaweni akan dimulai, dan setelah Mustakaweni kalah.
  1. Tari Mamayang
Tarian ini dalam lakon Srikandi x Mustakaweni terdapat dalam adegan ketiga, ketika Dewi Drupadi sedang berada di Keputren didampingi para Mamayang.
  1. Tari Bidadari
Tarian ini dalam lakon Srikandi x Mustakaweni terdapat dalam adegan keempat, ketika Mustakaweni menyerahkan Pusaka Layang Jamus Kalimusada kepada Srikandi.



 DAFTAR PUSTAKA

Iyus Rusliana,
       2002                     Wayang Wong Priangan, PT Kiblat Buku Utama, Bandung.
       2009                     Tari Wayang, Jurusan Tari STSI Bandung.
       2010                     Dramatari Pengantar Pengetahuan dan Praktek Pemeran, STSI, Bandung.

Rabu, 17 November 2010

Home Ungratifying Life karya Eko Supriyanto pada Internasional Dance Festival di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tanggal 17 Juni 2010.

            Indonesian Dance Festival (IDF) berlangsung pada tanggal 14-17 Juni 2010 bertempat di Taman Ismail Marzuki dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dicetuskan pertama kali oleh para pengajar Institut Kesenian Jakarta, Dr. Sal Murgiyanto, Sardono W. Kusumo, Maria darmaningsih, Nungki Kusumastuti, Ina M. Suryadewi, Tom Ibnur, Dedi Luthan dan Farida Oetojo pada tahun 1992. Bertujuan selain sebagai ajang pertemuan koreografer maupun penari dari dalam maupun luar negeri dengan orientasi artistik dan budaya yang berbeda, dan sarana pendorong aktifitas dan kreatifitas seniman berkerja sama lintas negara, juga ajang dialog dan kolaborasi antara koreografer Indonesia dan luar negeri. 
Indonesian Dance Festival yang biasa disingkat dengan IDF telah melahirkan banyak koreografer muda yang kini telah menjadi koreografer terkemuka baik didalam maupun diluar negeri, semisal ; Martinus Miroto, Boi G. Sakti, Eko Supriyanto dan Mugiyono Kasido. 
Selama perjalanan IDF, sekitar 19 negara dan 100 orang koreografer telah meramaikan festival tari bergengsi di Indonesia ini. Dan tahun 2010 ini, selama pementasan utama, akan di selenggarakan pementasan bagi koreografer muda.
Keenam Negara peserta menampilkan penari antara lain, Indonesia (Gusmiardi Suid, Jecko Siompo, Muslimin Bagus Pranowo, Asri Mery Sidowati, Siti Ajeng, Andara Firman Moeis, Fitri Setyaningsih dan Eko Suprianto), Taiwan (Taipeh Cross Over Dance Company, Taipeh National Of the Arts), Korea (Kim Dae Juk), Jepang (Contact Gonzo), Jerman (Meg Stuart dan Philip Gehmancher) serta Afrika Selatan (Vincent S K Mantsoe).
Dalam festival tari internasional bertema Powering the Future tersebut, karya yang ditampilkan keenam koreografer itu masih mengambil akar budaya klasik Indonesia. Tapi ada juga yang menyuguhkan tari modern.

A. Sekilas Tentang Eko Supriyanto
Eko Supriyanto lahir di Banjarmasin pada tanggal 26 November 1970. Namanya mulai melambung saat ia baru pulang dari Amerika Serikat, sebab dialah penari asal Indonesia yang beruntung pernah bergabung dengan Madonna’s company sebagai penari dan koreografer saat penyanyi itu melakukan tur konser di Amerika dan Eropa tahun 2001. Karyanya antara lain :
2010: Home Ungratifying Life
2009: Tawur, Without Body, Possible Dewa Ruci, MAU Forum, Tempest.
2008: The Iron Bed, Generasi Biru, Requiem.
2007: Balance, El, Flowering Tree, Awak Ening.
2006: Flowering Tree, Offering, Sensing and Gondang Batak, Wayang Budha, Bicara     
          Wanita, Pemahat dari Borobudur.
2005: Opera Jawa” Requiem From Java (Sintha Obong), Situbanda, Kecak and
          Circus, Opera Ronggeng.
2004: The Couples, Prang Buta, Daub.
2003: Love Cloud, Monte Verdi Vespers, Post Dance Celebration, Tanpa Indera.
2002: Damai – Rame, Two Dance Body Pieces, Prosesi Kartini, Shakti, Two Shows
          with Solo Dance Studio, Opera Diponegoro (Sardono W.Kusumo)
2001: Jazz Tap Ensemble (Lynn Dally), Creating Across Cultures: An APPEX
         Experience, Joged, Sensing.
2000: Mata Hati, Continental Shift, Inconclusive Blooming.
1999: Le Grand Macabre, Exile, From the Timepiece.
1998: A’Qu, Le Grand Macabre, Sketsa Satu.
1997: Unraveling the Maya, Trikon, Nya-hi.
1996: Opera Diponegoro, Leleh.       
1995: Passage Through the Gong, Lentrih, Lah.
1994: Panji Mask Dance Drama.

B. Koreografi Home Ungratifying Life
Tarian berjudul “Home Ungratifying Life” merupakan komposisi baru yang sangat kental dengan warna Jawa, sebagai tempat kelahiran Eko. Itu kian kuat warna Jawanya dengan kehadiran tembang Jawa yang selalu didengungkan. Meski tembang Jawa, Eko memilih bunyi-bunyian yang terkesan monoton, bising, dan ajek.
Karya ini bercerita tentang kegelisahan Eko atas ketiadaan rumah sebagai tempat yang paling aman dan nyaman. Manusia dikatakannya bukan lagi manusia jika mereka tak menerima alam. Bahkan mereka tak tahu di mana rumah itu karena kehidupan yang semakin hiruk-pikuk.
Eko menghadirkan ornamen bingkai yang ia tempatkan di tengah panggung. Bingkai tersebut mewakili sebuah rumah atas bentuk jendela. Di akhir garapan, muncul anjing yang mewakili bagian dari alam sekitar. Dominasi gerak lambat dipilih dalam koreografinya, yang berkesan sunyi dan meneror penonton atas suasana hening. Penari dengan menggunakan sayap yang lebar tetapi bergerak lambat sebagai simbol burung yang telah mati karena ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam. Kostum yang dipakai dua orang penari hanya menggunakan celana dalam sebagai simbol bahwa manusia sudah tidak mempunyai rasa malu dan tidak menghargai sesama mahluk hidup.
Gerak yang ditampilkan merupakan gerak-gerak non-verbal, gerak tersebut mengadung energi yang kuat sehingga seolah-olah gerak tersebut mengandung makna.
Karya tari ini merupakan murni tari kontemporer. Seni kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini; jadi seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang.
Pesan yang ingin disampaikan Eko, adalah manusia kini menjadi bukan manusia, jika kita tidak menerima alam maupun binatang yang membutuhkan realisasi yang dalam dari pemeliharaan oleh manusia.
Tarian berjudul “Home Ungratifying Life” merupakan komposisi baru yang sangat kental dengan warna Jawa, sebagai tempat kelahiran Eko. Pesan yang ingin disampaikan Eko, adalah manusia kini menjadi bukan manusia, jika kita tidak menerima alam maupun binatang yang membutuhkan realisasi yang dalam dari pemeliharaan oleh manusia.


REFERENSI
1. Powering The Future – 10th International Dance Festival Jakarta, 14-17 Juni 2010.