Indonesian Dance Festival (IDF) berlangsung pada tanggal 14-17 Juni 2010 bertempat di Taman Ismail Marzuki dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dicetuskan pertama kali oleh para pengajar Institut Kesenian Jakarta, Dr. Sal Murgiyanto, Sardono W. Kusumo, Maria darmaningsih, Nungki Kusumastuti, Ina M. Suryadewi, Tom Ibnur, Dedi Luthan dan Farida Oetojo pada tahun 1992. Bertujuan selain sebagai ajang pertemuan koreografer maupun penari dari dalam maupun luar negeri dengan orientasi artistik dan budaya yang berbeda, dan sarana pendorong aktifitas dan kreatifitas seniman berkerja sama lintas negara, juga ajang dialog dan kolaborasi antara koreografer Indonesia dan luar negeri.
Indonesian Dance Festival yang biasa disingkat dengan IDF telah melahirkan banyak koreografer muda yang kini telah menjadi koreografer terkemuka baik didalam maupun diluar negeri, semisal ; Martinus Miroto, Boi G. Sakti, Eko Supriyanto dan Mugiyono Kasido.
Selama perjalanan IDF, sekitar 19 negara dan 100 orang koreografer telah meramaikan festival tari bergengsi di Indonesia ini. Dan tahun 2010 ini, selama pementasan utama, akan di selenggarakan pementasan bagi koreografer muda.
Keenam Negara peserta menampilkan penari antara lain, Indonesia (Gusmiardi Suid, Jecko Siompo, Muslimin Bagus Pranowo, Asri Mery Sidowati, Siti Ajeng, Andara Firman Moeis, Fitri Setyaningsih dan Eko Suprianto), Taiwan (Taipeh Cross Over Dance Company, Taipeh National Of the Arts), Korea (Kim Dae Juk), Jepang (Contact Gonzo), Jerman (Meg Stuart dan Philip Gehmancher) serta Afrika Selatan (Vincent S K Mantsoe).
Dalam festival tari internasional bertema Powering the Future tersebut, karya yang ditampilkan keenam koreografer itu masih mengambil akar budaya klasik Indonesia. Tapi ada juga yang menyuguhkan tari modern.
A. Sekilas Tentang Eko Supriyanto
Eko Supriyanto lahir di Banjarmasin pada tanggal 26 November 1970. Namanya mulai melambung saat ia baru pulang dari Amerika Serikat, sebab dialah penari asal Indonesia yang beruntung pernah bergabung dengan Madonna’s company sebagai penari dan koreografer saat penyanyi itu melakukan tur konser di Amerika dan Eropa tahun 2001. Karyanya antara lain :
2010: Home Ungratifying Life
2009: Tawur, Without Body, Possible Dewa Ruci, MAU Forum, Tempest.
2008: The Iron Bed, Generasi Biru, Requiem.
2007: Balance, El, Flowering Tree, Awak Ening.
2006: Flowering Tree, Offering, Sensing and Gondang Batak, Wayang Budha, Bicara
Wanita, Pemahat dari Borobudur.
2005: Opera Jawa” Requiem From Java (Sintha Obong), Situbanda, Kecak and
Circus, Opera Ronggeng.
2004: The Couples, Prang Buta, Daub.
2003: Love Cloud, Monte Verdi Vespers, Post Dance Celebration, Tanpa Indera.
2002: Damai – Rame, Two Dance Body Pieces, Prosesi Kartini, Shakti, Two Shows
with Solo Dance Studio, Opera Diponegoro (Sardono W.Kusumo)
2001: Jazz Tap Ensemble (Lynn Dally), Creating Across Cultures: An APPEX
2001: Jazz Tap Ensemble (Lynn Dally), Creating Across Cultures: An APPEX
Experience, Joged, Sensing.
2000: Mata Hati, Continental Shift, Inconclusive Blooming.
1999: Le Grand Macabre, Exile, From the Timepiece.
1998: A’Qu, Le Grand Macabre, Sketsa Satu.
1997: Unraveling the Maya, Trikon, Nya-hi.
1996: Opera Diponegoro, Leleh.
1995: Passage Through the Gong, Lentrih, Lah.
1994: Panji Mask Dance Drama.
B. Koreografi Home Ungratifying Life
Tarian berjudul “Home Ungratifying Life” merupakan komposisi baru yang sangat kental dengan warna Jawa, sebagai tempat kelahiran Eko. Itu kian kuat warna Jawanya dengan kehadiran tembang Jawa yang selalu didengungkan. Meski tembang Jawa, Eko memilih bunyi-bunyian yang terkesan monoton, bising, dan ajek.
Karya ini bercerita tentang kegelisahan Eko atas ketiadaan rumah sebagai tempat yang paling aman dan nyaman. Manusia dikatakannya bukan lagi manusia jika mereka tak menerima alam. Bahkan mereka tak tahu di mana rumah itu karena kehidupan yang semakin hiruk-pikuk.
Eko menghadirkan ornamen bingkai yang ia tempatkan di tengah panggung. Bingkai tersebut mewakili sebuah rumah atas bentuk jendela. Di akhir garapan, muncul anjing yang mewakili bagian dari alam sekitar. Dominasi gerak lambat dipilih dalam koreografinya, yang berkesan sunyi dan meneror penonton atas suasana hening. Penari dengan menggunakan sayap yang lebar tetapi bergerak lambat sebagai simbol burung yang telah mati karena ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam. Kostum yang dipakai dua orang penari hanya menggunakan celana dalam sebagai simbol bahwa manusia sudah tidak mempunyai rasa malu dan tidak menghargai sesama mahluk hidup.
Gerak yang ditampilkan merupakan gerak-gerak non-verbal, gerak tersebut mengadung energi yang kuat sehingga seolah-olah gerak tersebut mengandung makna.
Karya tari ini merupakan murni tari kontemporer. Seni kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini; jadi seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang.
Pesan yang ingin disampaikan Eko, adalah manusia kini menjadi bukan manusia, jika kita tidak menerima alam maupun binatang yang membutuhkan realisasi yang dalam dari pemeliharaan oleh manusia.
Tarian berjudul “Home Ungratifying Life” merupakan komposisi baru yang sangat kental dengan warna Jawa, sebagai tempat kelahiran Eko. Pesan yang ingin disampaikan Eko, adalah manusia kini menjadi bukan manusia, jika kita tidak menerima alam maupun binatang yang membutuhkan realisasi yang dalam dari pemeliharaan oleh manusia.
REFERENSI
1. Powering The Future – 10th International Dance Festival Jakarta, 14-17 Juni 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar