Selasa, 01 Februari 2011

Wawancara dengan Maestro/Tokoh Tari Sunda Ibu Indrawati Lukman

Pada hari Rabu tanggal 13 Januari 2009, saya berkesempatan melakukan sebuah wawancara dengan Ibu Indrawati Lukman dikediamannya yang asri dan sejuk dikawasan Arcamanik – Antapani Bandung. Beliau merupakan salah satu tokoh/maestro Tari di Jawa Barat, kiprah beliau di dunia tari khususnya tari Sunda sudah tidak diragukan lagi, bahkan Harian Kompas memberi julukan kepada beliau sebagai Penari Senior Indonesia, berikut petikan percakapan bersama Ibu Indrawati Lukman :


1.    Tanggal berapa Ibu dilahirkan?
 Jawab : 1 April 1944

2.    Dimana Ibu dilahirkan?
Jawab : di Bandung

3.    Ibu dilahirkan dari berapa bersaudara?
Jawab : Saya dilahirkan dari 5 bersaudara.

4.    Bisa diceritakan awal mula Ibu berkiprah didunia tari?
Jawab : Ketika itu tahun 1955. Sebenarnya dulu saya hanya sekadar mengikuti teman-teman untuk menari, sebagai hobi saja. Pada waktu itu satu-satunya guru tari yang terkenal adalah Pak Tjetje Somantri, tempatnya di Badan Kesenian Indonesia (BKI) di Jalan Naripan Bandung. Ya, memang awalnya saya terjun ke dunia tari betul-betul hanya ikut-ikutan. Tidak tahu bahwa akhirnya di situlah bakat dan dunia saya. Ketika itu Pak Tjetjelah yang mungkin melihat bakat dan potensi saya sebagai penari. Waktu itu umur saya sebelas tahun. Sejak itulah saya menemukan hobi yang sesuai dengan hati saya. Jika tahun 1955 disebut sebagai langkah awal keberangkatan saya menggeluti dunia tari, maka sekarang sudah 50 tahun saya menggeluti dunia tari. Dari tahun ke tahun ketika itu saya selalu dibawa dalam berbagai pertunjukan. Sampai tahun 1957 saya pertama kali terpilih menjadi anggota misi kesenian ke luar negeri. Waktu itu ke Rusia, Cekoslowakia, Polandia, Hongaria dan Mesir. Selama 3 bulan saya harus meninggalkan sekolah, tapi memang mendapat izin karena itu merupakan sebuah misi kesenian Indonesia. Pilihan untuk menggeluti dunia tari itu berlangsung secara tak sadar. Karena terus-menerus dan juga karena hobi. Kalau saya ingat lagi ke belakang, karena hobi itulah saya asal bisa menari saja. Tidak dibayar saja saya merasa senang, dibayar sedikit juga tidak masalah dan mendapat kesempatan menari ke mana-mana. Jadi saya juga, ya, enjoy saja. Sampai suatu ketika pada tahun 1964, ada orang menawarkan saya beasiswa untuk belajar ke Amerika Serikat. Saat itu, kebetulan juga saya diminta tampil di New York World Fair. Saya berangkat ke Amerika dengan lebih dulu mengikuti program pemerintah di New York World Fair, lalu saya berangkat ke Stephen's College atas beasiswa. Tapi beasiswa itu bukan untuk studi tari, melainkan meneruskan studi seperti yang saya pelajari semasa semester satu di Unpad, yaitu psikologi. Tapi ketika itu bahasa Inggris saya pas-pasan, dan tentu saja mendapat banyak kesulitan. Akhirnya saya memilih untuk memfokuskan diri pada studi tari. Di situlah saya merasa apa yang saya miliki bisa keluar, terutama dalam kelas koreografi. Di situlah selama dua tahun saya sempat juga mempelajari berbagai tari etnis, dari mulai tari India, Spanyol, Hawai hingga teknik modern dance Martha Graham.

5.    Bagaimana sambutan pertama kali yang diberikan oleh keluarga (orang tua,saudara) ketika ibu memutuskan untuk berkiprah didunia seni tari?
Jawab : Nggak jadi masalah, kebetulan darah seni mengalir dari ibu saya. Karena keluarga kami kebetulan keluarga pendidik maka memberikan kebebasan kepada anak-anaknya, orang tua saya hanya memberikan pesan yaitu berusahalah sampai titik akhir dan jangan sampai merugikan orang lain.

6.    Apakah keluarga (suami dan anak) mendukung ibu berkiprah didunia jagad tari Sunda?
Jawab : Ya, memang dari awal, ketika saya mulai menikah..suaminya saya sempat melarang untuk terjun di dunia tari…Awalnya malah saya tidak boleh menari, dia mengatakan bahwa dia bukan artis seperti saya. Karena itu saya diminta untuk menjaga perasaannya. Dia enggak suka saya menari tapi perasaan dan jiwa saya menari terus…Setelah dia melihat saya dari tahun ke tahun selalu gelisah, suami saya menganggap memang saya tidak bisa ditahan untuk terjun di dunia tari…dia mengizinkan saya untuk mengajar dulu. Oleh karena itu saya mendirikan STI dengan tujuan mengajar saja.

Tapi lama-kelamaan dia melihat bahwa itulah dunia saya sampai akhirnya dia juga terjun dan terlibat. Akhirnya mendukung dalam arti positif dan saya boleh menari asal mendapat izin dari suami…dengan pegangan itu saya pegang terus…akhirnya sampai sekarang suami dan anak mendukung, malahan kalau keluar negeri ikut.

7.    Tarian apa yang pertama kali ibu ciptakan?
Jawab : Saya mulai mencoba menciptakan tarian, seingat saya judulnya "Tari Batik", itu diciptakan sepulang dari Amerika, saya tidak melanjutkan sekolah, karena lebih senang meneruskan apa yang sedang saya geluti. Dari awal itulah apa yang dulu saya pelajari, saya coba masukkan ke dalam karakter tari Sunda. Karena itulah garapan-garapan saya banyak mengambil gerakan dari daerah lain dengan tetap mempertahankan roh Parahyangannya. Tapi pola geraknya saya ambil dari tradisi lain yang mungkin sepintas tidak akan terasa, tapi jika dilihat secara detail akan terasa. Salah satunya, misalnya, idiom gerak yang saya ambil dari Thailand. Saya belajar di Bangkok dua kali. Atau juga saya mengambilnya dari idiom tari Jawa dan Bali. Tapi itu bukan berarti asal mengambil begitu saja, tapi ada alasan atau ketentuan estetikanya. Jadi bukan berarti saya harus begitu saja memasukkan unsur-unsur modern dance. Saya tidak bisa, karena jiwa saya lebih ke tari-tari tradisional. Sebagai orang yang lebih dulu mendalami tari-tari tradisional, untuk lepas dari akar itu sangat sulit.

8.    Pada tahun berapa?
Jawab : Sekitar tahun 1968 – 1971an.

9.    Bagaimana struktur koreografi tarian tersebut?
Jawab : Saya membuat koreografi yang tidak sulit dan mudah dimengerti oleh murid sehingga gampang ditiru, tidak hanya anak-anak tapi mahasiswa juga, kemudian dikemas dengan lagu yang sedemikian rupa agar menarik para penonton yang melihatnya.

10.    Bisa Ibu jelaskan tentang unsur musik yang terdapat dalam tarian tersebut?
Jawab : Unsur musik atau gendingnya itu yang pertama kali saya buat beda dari yang lain dan beda dari yang sudah pakem. Musiknya sudah pakai irama lain dan menjadi wanda anyar.

11.    Bagaimana dengan unsur busana dalam tarian tersebut?
Jawab : Unsur busana dari awal..saya membuat pertunjukan itu nomor satu memang di busana…memiliki ciri khas tersendiri supaya bisa memuaskan penonton, sehingga muncul kesan dipublik bahwa karya tari saya glamor, padahal biasa saja hanya dari unsur tata cahaya yang mengakibatkan kostum menjadi lebih menarik….saya tidak melihat kaidah-kaidah yang terdapat dalam suatu warna…yang penting masih mengikuti norma-norma tari Sunda, mengikuti zaman tapi kita jangan sampai dikalahkan. Saya ingin tari tradisional yang dulu pakaiannya demikian sederhana bisa ikut dalam kekinian. Kita tidak bisa menari terus-menerus seperti zaman dulu, tapi kita juga tidak bisa menghilangkan yang dahulu itu. Yang dahulu dipelihara tapi selanjutnya kita harus membuat anak-anak sekarang menyukainya. Ketika anak-anak sekarang tidak suka, bahkan untuk melirik pun tidak mau, bagaimana dia mau belajar.

12.    Sampai saat ini, berapa tarian yang telah Ibu buat?
Jawab : Wuah..cukup banyak tarian yang sudah saya buat.

13.    bisa disebutkan tarian karya Ibu tersebut?
Jawab : Coba nanti lihat saja dibuku “Menengok Jagat Tari Sunda-50Tahun Kiprah Kepenarian Indrawati Lukman dan 37 Tahun Studio Tari Indra”. Disana ada data karya-karya tarian saya.

14.    Tema-tema apa yang muncul pada tari-tarian karya Ibu?
Jawab : Biasanya yang penting itu…pertama, hampir semua karya saya menggambarkan kewanitaan, karena saya belajar dari almarhum Pak Tjetje yang karyanya mengungkapkan kewanitaan, seperti wanita yang terampil, wanita yang ceria, wanita yang gembira…kedua, temanya keindahan. Sewaktu saya membuat tarian saya tidak mau orang capek melihatnya. Tidak semua orang yang menonton adalah penari. Jadi, ketika saya menciptakan tarian saya harus menciptakan sesuatu yang berakar pada tradisi di Jawa Barat, juga indah sehingga belum orang mengerti tariannya tapi ia sudah merasakan keindahan visualnya, juga musiknya. kecuali di dramatari ada karakter yang kuat. Tapi intinya tetap adalah keindahan.

15.    Apakah tema-tema tersebut dipengaruhi kondisi sosial, politik, juga ekonomi yang berkembang pada saat ibu menciptakan tarian tersebut?
Jawab : Nggak..karena itu konotasinya agak lebih berat untuk si anak..karena karya saya ini kan hanya untuk anak-anak yang sekedar ingin menarikan, kalau kondisi sosial, politik seperti itu harus untuk konsumsi tertentu dan mempunyai tanggung jawab yang lebih berat.

16.    Apakah tarian karya Ibu masih kental dengan ritual?
Jawab : Nggak ada ritual malah. Kalau ritualkan kita harus memelihara pakem, tidak lepas dari aturan-aturan...kalo saya lebih ke hiburan. Sifatnya enteng dan mudah dipahami oleh penonton.

17.    Apakah ada pesan khusus yang disampaikan kepada penonton dalam setiap tarian karya Ibu?
Jawab : Yang bisa saya katakan, bahwa ketika saya sedang menari ada sesuatu yang ingin diungkapkan, termasuk keindahan dan anugerah Allah. Ketika saya menari, saya merasa bahwa saya sedang memberikan sesuatu yang saya miliki. Ketika saya menari, ada semacam kebahagiaan di dalamnya, memberikan keindahan, menampilkan apa yang saya ekspresikan. Kalau dengan kata yang singkat, saya ingin mengatakan agar masyarakat itu mencintai budaya dan tradisi mereka. Cintailah seni daerah. Dan karena itulah, punten, saya merasa harus membuat karya-karya yang tidak jelek. Harus bagus terus. Semua yang saya tampilkan harus membuat orang mengatakan bahwa mereka menyukai tari-tari Jawa Barat.  Makanya saya terus berkarya membuat  sesuatu yang baru sesuai dengan zamannya. Jadi, selama saya memelihara ini terutama tari Sunda…pertama, agar masyarakat atau orang Sunda bisa mengapresiasi budayanya sendiri…kedua, supaya generasi muda selanjutnya mau mempelajari…karena menurut saya suatu bangsa itu akan kuat kalau budaya dan mental masyarakatnya juga kuat.

18.    Menurut Ibu, adakah pihak-pihak (pewaris/ahli waris) yang berusaha untuk menjaga kelestarian tari-tarian karya Ibu?
Jawab : Sebenarnya, anak saya tidak seperti saya yang mempunyai minat yang kuat untuk menari, cuma dia punya keinginan untuk meneruskan usaha saya, dalam artian melalui Studio Tari Indra…mungkin saja ada penari yang loyal dan mempunyai niat untuk meneruskan keinginan saya…intinya pengorbanan, dedikasi dan loyalitas..tanpa itu nggak ada gunanya..Jadi kalau harus disebut langsung siapa orangnya, saya tidak bisa memastikan.

19.    Bagaimana perhatian pemerintah terhadap tari-tarian yang dikelola STI?
Jawab : Ya secara material tidak ada, dana yang rutin sama sekali tidak ada…tetapi kalau mengenai kegiatan yang memerlukan bantuan seperti pengajuan proposal, biasanya mereka melihat keperluannya apa, apakah perlu didukung atau tidak, biasanya mereka harus melakukan pengamatan dan penelitian terlebih dahulu dan kadang-kadang sangat menyebalkan…sudah komit saya untuk mempunyai wadah pendidikan/menampung anak orang yang mempunyai bakat kemudian kita tampilkan, pemerintah memberi dana atau tidak, kegiatan harus jalan terus, kalau menunggu bantuan pemerintah tidak akan maju, pemerintah dirasakan masih kurang mempunyai kepedulian terhadap kesenian. Berbeda dengan dulu, sekitar tahun 1970 – 1980an, dalam satu bulan kami bisa empat kali tampil di Gedung Pakuan. Apresiasinya ketika itu tinggi sekali.

20.    Apa kendala yang Ibu temukan ketika menjadi penari akhirnya adalah pilihan Ibu, apalagi pada masa-masa itu pilihan untuk menjadi seniman di mata keluarga bukanlah sesuatu yang gampang bukan?
Jawab : Sebetulnya, itu bukan pilihan. Semuanya terjadi secara tak sengaja. Atau ketika itu saya belum memilih untuk menjadi penari, tapi hanya meneruskan hobi saja. Belum ada pemikiran saya akan menjadi penari. Pada masa itu memang belum banyak orang yang membuat tarian baru dan mengembangkan tarian tradisional. Jadi sebenarnya di situ saya berusaha mencoba-coba. Ketika sejak tahun 1965 banyak orang menilai dalam karya saya terdapat sesuatu yang baru, di situ saya tergugah untuk lebih mengembangkannya. Termasuk mengembangkannya dalam kelompok yang saya dirikan tahun 1968, yaitu Studio Tari Indra (STI) itu kendalanya luar biasa..tidak ada yang mendukung..dukungan dana tidak ada, dukungan masyarakat pun terasa masih kurang…akhirnya saya harus berusaha sekuat tenaga agar STI bisa tetap eksis, karena berusaha akhirnya mereka peduli…usaha yang harus terus menerus dan menbuat sesuatu yang berbeda tiap tahun, jadi sudah kepalang basah ya mau apalagi…tapi Im happy…the show must go on…kalo sudah komit harus all out…

21.    Sebenarnya mengapa Ibu merasa harus menjadi seorang penari?
Jawab : Ini pertanyaan yang sulit saya jawab. Saya tidak merasa harus menjadi seorang penari, karena ke-bisa-an saya ya ini…hahaha…bermula dari ikut-ikutan, terus karena diajak dan pergi keluar negeri...ya akhirnya menjadi penari…

22.    Kapan tepatnya Ibu mengenal Pak Tjetje Somantri?
Jawab : Saya mengenal beliau ketika saya bergabung di BKI (Badan Kesenian Indonesia)

23.    Bagaimana Ibu memandang sosok Pak Tjetje?
Jawab : Pak Tjetje orangnya sangat low profile, tidak banyak bicara, cuma dia seorang penari yang tahu kondisi si anak, Pak Tjetje intens mengajar agar muridnya bagus, teknik menari Pak Tjetje luar biasa, ini merupakan contoh pengorbanan, dia mengajar tanpa pamrih.

24.    Apa yang membuat Ibu akhirnya tertarik untuk mengikuti jejak Pak Tjetje?
Jawab : Sebenarnya ketika saya mendapat pengajaran dari Pak Tjetje, banyak sekali kemudahan atau rahmat yang saya dapat dari Allah SWT melalui tari, andaikata saya tidak mengenal Pak Tjetje…tidak mungkin saya seperti sekarang ini. Saya menemukan segalanya dari beliau.

25.    Apakah ada nasihat dan pesan khusus dari Pak Tjetje?
Jawab : Kalau ke pribadi tidak, hanya beliau suka bilang “hargailah kehidupan”, “hargailah yang kamu dapatkan”…beliau suka bilang begitu.

26.    Apakah Ibu salah satu murid kesayangan atau anak emas Pak Tjetje?
Jawab : Nggak…saya bukan..tidak sama sekali. Pak Tjetje itu tidak punya emas. Selama saya menari disana tidak ada anak emas. Pak Yuyun, Ibu Ira pun tidak di anak emaskan. Beliau tidak membeda-bedakan murid. Cuma beliau tahu kondisi si penari, makanya ada penari yang menari itu-itu saja, karena beliau mempunyai kepekaan yang lebih terhadap muridnya, contohnya: saya menjadi penari pertama Tari Kandagan, Ibu Emmi identik dengan Tari Dewi Serang, mungkin itu yang dikatakan anak emas. Jadi tidak ada anak emas kalau menurut saya, hanya dalam pengkarakteran tarian saja yang dibedakan.

27.    Sampai saat ini, bagaimana Ibu menilai perkembangan tari Sunda?
Jawaban : Perkembangannya sih sejak dengan adanya jaipongan, saya pikir tari Sunda biasa-biasa saja yah, hidup segan mati pun tak mau, kemudian itu apresiasi masyarakat terhadap tari Sunda masih kurang..makanya ketika mereka diam, saya tidak diam. Pikiran saya selalu berputar agar bisa terus menerus mengembangkan tari Sunda.

28.    Bagaimana Ibu melihat minat generasi muda dalam mengembangkan dan mempertahankan tari Sunda? 
Jawab : Nggak ada, selain di SMKI, UPI, STSI. Orang yang mau menari atau mendalami masih kurang…paling-paling perbedannya kalau harus dihitung itu dari 10 cuma 2 orang.

29.    Sudah 50 tahun Ibu menggeluti dunia tari. Selama itu apa yang Ibu dapatkan?
Jawab : Kalau saya lihat itu, yang saya dapatkan adalah bagaimana kita menyelesaikan masalah dengan kegigihan, pengorbanan dan kerja keras..tanpa itu semua usaha kita tidak akan berhasil…dan jujur, dalam arti kata jujur pada diri sendiri dan jujur pada orang lain…Kalau pengalaman sudah jelas. Demikian juga dengan anak-anak didik dan networking. Tapi ada juga nilai tersendiri, bahwa dengan menjadi penari saya merasa kaya. Merasa kaya bukan dalam pengertian materi, tapi suatu jenis kekayaan yang kelak juga harus bisa bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Ketika saya ingin berhenti, itu tidak bisa karena saya ingin menularkan kebahagiaan saya sebagai penari pada para generasi muda. Besok lusa saya misal sudah tidak ada. Kalau saya berhenti dan saya belum memberikan apa yang saya miliki ini pada orang lain, maka semuanya akan terputus. Keindahan itu dari Allah, tapi persoalannya bagaimana kita bisa merawat dan melanjutkan keindahan itu dengan sebaik-baiknya.

30.    40 tahun sudah Studio Tari Indra berdiri, apakah Ibu merasa puas dengan hasil yang telah dicapai oleh STI?
Jawab : Nggak lah...nggak akan puas…Cuma memang yang nggak puas itu self beloging para penari, saya ingin penari yang telah tergabung kedalam STI mempunyai ikatan batin / rasa memiliki kepada STI…merasakan adanya ikatan kekeluargaan yang erat, saya ingin membina penari agar baik akhlak, sikap dan kelakuannya. Selain tetap ingin menjaga perkembangan tari tradisi di Jawa Barat, saya ingin memberi peluang untuk para penari muda berbakat sehingga mereka bisa mengembangkan potensinya.

31.    Kalau Ibu dilahirkan kembali dan boleh memilih, Ibu ingin jadi apa sih?
Jawab : Jika saya dilahirkan kembali, saya ingin membahagiakan orang tua dengan menjadi Sarjana...Dosen...Profesor…karena latar belakang orang tua dan keluarga dari kalangan akademisi…bukan jadi penari, ibu saya guru Bahasa Inggris dan Ayah saya dosen di Institut Teknologi Bandung. Jadi dalam darah saya memang mengalir darah pendidik. Tapi orang tua menyadari dan sudah jalannya dari Allah...mensyukuri saja.

32.    Sampai kapan Ibu akan terus bergelut dalam dunia tari?
Jawab : Insya Allah selama saya masih mampu.

33.    Adakah pesan yang ingin ibu sampaikan untuk para penari generasi sekarang?
Jawab : Yang penting dia peduli kepada kebudayaan, pesan yang disampaikan terutama kepada lingkungan akademik seperti sekolah, guru. Mereka harus mau menjadikan kesenian suatu keharusan untuk dipelajari oleh generasi muda, diarahkan untuk mencintai kesenian dan juga budi pekerti kalau budayanya ingin maju dan berkembang.
---------------------------------------------

Itulah hasil wawancara saya dengan Ibu Indrawati Lukman, di usianya yang semakin senja beliau masih tetap bersemangat dalam menjaga nilai-nilai tradisi Sunda, sisa-sisa kecantikannya yang masih tampak sampai saat ini menyiratkan bahwa perjuangan beliau di dunia kesenian tidaklah padam.  Semangat yang patut kita contoh oleh kita generasi muda.

Wallahuallambissawab..
Keep positive thinking, keep pray and keep smile..
Jabat erat dari saya..


1 komentar: